Mengkaji Ruh dalam Perspektif Islam
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh.” Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
(QS. Al-Isra’: 85)
Mengkaji Ruh dalam Perspektif Islam
Mengkaji Ruh dalam Perspektif Islam

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan, “Aku pernah bersama Nabi saw di beberapa tempat di Madinah yang dalam keadaan hancur. Beliau dalam keadaan ertopang pada pelepah kurma dan berjalan melintasi beberapa orang Yahudi. Sebagian orang Yahudi itu berkata kepada seagian lainnya, “bertanyalah kepadanya tentang ruh.” Sebagian lainnya berkata, “jangan menanyakan hal itu.”
Akhirnya merekapun memutuskan untuk bertanya, maka merekapun berkata, “Wahai Muhammad, apakah ruh itu?” Dengan masih bertopang pada pelepah kurma, sehingga aku mengira beliau sedang menerima wahyu, maka Rasulullah saw menjawab dengan membaca firman Allah swt, Mereka bertanya kepadamu tentang ruh.” Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. al-Isra: 85).
Alquran menegaskan bahwa eksistensi ruh termasuk dalam urusan ilahiah. Ia merupakan ‘tiupan ilahi’ yang dihembuskan ke dalam diri manusia, sehingga manusia mejadi citra ilahi, “…dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29).  Ruh pada dasarnya bersifat universal yang dimiliki oleh setiap eksistensi di semesta raya ini dalam  berbagai tingkatannya, dan ruh manusia hanyalah salah satu jenis tingkatannya, da setiap pribadi manusia seperti Muhammad atau Ahmad memiliki ruh individual tersendiri yang menjadi khas miliknya. Jadi, ada dua jenis ruh : ruh uiversal dan ruh individual.
Menurut Titus Burckhardt (1983: 17), dua aspek ruh ini dapat dijelaskan atas dasar ruh adalah sebuah perantara antara Tuhan dan alam semesta yang dipersiapkan. Aspek ilahiah berhubungan dengan Tuhan, sedangkan aspek ciptaan direfleksikan dalam jiwa universal, akal ciptaan, dan lain-lain. Karena ada Ruh Universal (ar-ruh), yakni alam Ruh, ada juga jiwa universal (an-nafs al-kulliyah). Jiwa perorangan disesuaikan menurut bentuk, sedangkan Jiwa Universal di luar bentuk. Pada kedua kasus itu, jiwa sama dengan ruh, sebagaimana substansi dengan esensi, atau materiadengan forma. Burckhardt menjelaskan bahwa para sufi meyeut substansi universal ini dengan al-haba’, yang secara harfiah berarti ‘debu halus’ yang mengambang di udara yang menjadi tampak hanya dengan sinar yang dibiaskannya. Simbolisme al-haba’ mengilustrasikan sifat ganda ruh, sebab ruhlah yang menyinari al-haba’ dan karena itu sama dengan sinar yang dibiaskan debu halus itu. Karena menjadi tampak hanya jika ia membiaskan cahaya, sinar itu pun hanya tampak pada layar dibentuk dari debu. Jadi, Burckhardt menyimpulkan bahwa cahaya tak berbentuk menyimbolkan Ruh ilahiah, sedangkan cahaya ditentukan sebagai sebuah sinar menyimbolkan Ruh ciptaan.
Adapun Ibn ‘Arabi—yang menekankan kesatuan Wujud—percaya bahwa aspek ilahiah ruh yang ada pada manusia hakikatnya satu dengan Tuhan, karena manusia adalah manifestasi sempurna Sifat-sifat dan Nama-nama Tuhan. Totalitas Sifat Tuhan membentuk apa yang kaum sufi sebut Bentuk Tuhan (as-shurah al-ilahiyah) dengan merujuk pada sabda Nabi Saw. “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”. Ibn ‘Arabi juga menggambarkan penyatuan dengan esensi Tuhan sebagai sebuah interpenetrasi bersama antara Tuhan dan manusia. Sifat Tuhan menjadi isi sifat manusia dan manusia menjadi bentuk esensial-Nya.
Sedangkan kalangan isyraqi (pencerahan) membagi semua benda ke dalam benda-benda yang dapat dimasuki cahaya, atau tidak dapat dimasuki, atau dapat dimasuki cahaya dalam derajat yang berbeda-beda. Karegori pertama disebut lathif dan jiwa dianggap berasal dari kategori ini, yakni bersifat lembut dan diterangi cahaya Ruh. Suhrawardi menyebut ruh sebagai sebuah pancaran akal Tuhan.
Namun, Ibn Sina menetapkan jiwa dan Ruh sebagai dua tingkat dari suatu entitas yang dia sebut jiwa. Pada tingkat transendental, ia murni dan pada tingkat fenomenal, ia memasuki tubuh dan menghidupkannya. Ibn Sina percaya bahwa studi tentang tingkat pertama jiwa menjadi bagian metafisika, sedangkan studi tentang tingkat kedua menjadi bagian ilmu-ilmu alam. Teori Ibn Sina tentang eksistensi bersifat emanasionis. Dari Tuhan yang primordial (al-qadim) mengalir akal satu (al-‘aql al-awwal) yang manjadi sinonim untuk ruh.
Bagi Ibn Sina, esensi eksis pada Tuhan dan dalam akal sebelum eksistensi individual menunjukkannya di dunia eksternal dan esensi juga eksis dalam jiwa kita setelah eksistensi individualnya. Baginya, jiwa manusia, meskipun hanyalah akal potensial pada permulaan perkembangannya, merupakan satu substansi spiritual, nonmateri yang dapat eksis tanpa bergantung pada raga. Ibn Sina mengikuti definisi-jiwa Aristoteles (dalam pengertian nafs) sebagai sebuah aktualisasi raga. Namun, menurut aspek ilahiahnya, yakni secara hakiki, ia berada diatas raga. (hd/liputanislam.com)

0 comments:

Post a Comment

 
Top